Ramboterview: Pathetic Waltz

Salam Rambo!

Ramboterview merupakan sebuah sesi wawancara yang akan tayang di blog kami secara tidak berkala. Periode tayangnya menyesuaikan dengan waktu senggang editor kami yang sedang mendangkali agama. Di edisi perdana ini, Pathetic Waltz didapuk jadi narasumber. Kenapa Pathetic Waltz? Tentu saja karena mereka artis kami. Ha! *evil grin*

Tapi alasan lain sebenarnya adalah, sebagai band pinggiran kota, mereka punya attitude yang bisa membuat minder para remaja tengah kota. Segala keterbatasan yang mereka punya tidak lantas dijadikan hambatan, melainkan diubah jadi pelatuk yang meletupkan energi kreatif. Apa gunanya punya sumber daya komplit kalau tidak menghasilkan apa-apa? Mereka dengan cerdik menyiasati minus menjadi surplus. Album self-titled ini lah pembuktiannya, meskipun hasilnya akan terasa berbeda di tiap telinga dan mata yang menerimanya, namun mereka sadar kalau perjalanan belum lama dimulai. Garis finish masih jauh.

Mungkin perjalanan mereka tidak akan mulus. Haters akan setia mengintai dari balik semak-semak, menunggu waktu yang tepat untuk membegal rasa percaya diri mereka di tengah perjalanan. Hambatan demi hambatan sudah menunggu. Namun sebuah perjalanan yang lancar-lancar saja hingga sampai di tujuan tidak akan meninggalkan kesan dan pengalaman.

Silahkan menikmati sesi wawancara ini. Jawaban dari mereka sengaja tidak kami sunting, kami hanya membenahi beberapa redaksional yang dirasa penting saja. “Before you start to judge me, step into my shoes and walk the life i’m living,” kalau kata quotes di Path dan Instagram. Semoga sidang pembaca yang budiman diharapkan dapat mengalami bagaimana rasanya berdansa di atas kepiluan dari atas sepatu Pathetic Waltz.

Enjoy!     

IMG_20141019_001508

1. Silahkan ceritakan asal muasal Pathetic Waltz selengkap-lengkapnya. Mulai dari sejarah pendirian, influence bermusik hingga inspirasi lirik dll. 

Asalnya sih dulu kita lahir dari ibu kita masing-masing. Terus SMA ketemu, nongkrong ga jelas, terus berteman lama sampe akhir Oktober 2011, abis nonton Djakarta Artmosphere di Senayan kita (Alta, Didit, Getta ) naik kereta malam. Duduk di hadapanku seorang ibu. Eh… basa-basi, terus kebetulan Pure Saturday waktu itu juga main, kepikiran judul lagunya buat iseng nge-band. Waktu itu skill kita pas-pasan, alat ga punya, hanya punya niat dari pelakunya tapi juga ada kesempatan. Meski sekarang sih masih sama. Jadi, waspadalah, waspadalah, waspadalah!

Influence beda-beda sih, kalo Radius itu sudah jelas metal banget ya, Mayhem, Makam, Bandoso, Sisi Selatan, dan Blink 182. Kalo Getta, paling The Cure, Pearl Jam, Blur, Suede, ya standarlah. Bowo sukanya reggae, influence Bob Marley, Mountain Reggae, ya gitu deh. Kalo Didit, Didi Kempot aseli. Nah kalo lirik dan musik macem-macem, dari kehidupan sehari-hari, lingkungan sekitar, kebiasaan, tapi Plastik Bekas inspirasi liriknya dari Gojira.

2. Dari semua judul lagu Pure Saturday, kenapa memilih Pathetic Waltz untuk dijadikan nama band? Seberapa besar pengaruh mereka di PW?

Getta: Pathetic Waltz. Secara personal kami mengartikannya “Berdansa di atas Kepiluan” dan kami menganalogikannya dalam kehidupan sehari hari, telalu banyak kepiluan, dan lebih baik mengapa tidak kita berdansa diatasnya saja… menari bebas menikmati setiap rasanyaaa hahahaha. Terlebih singkatan dari Pathetic Waltz / PW bagi kami adalah sesuatu yg iconic.

3. Mendengarkan musik kalian seperti kembali ke era 90an. Kalau dilihat dari umur, sudah jelas kalian tidak merasakan gegap-gempita era itu. Kenapa bisa begitu?  

Alta: Aku sih lahir di tahun 91, waktu SD sudah dengerin The Fly, Sheila On 7, Dr.PM, Es Nanas, Base Jam, Caffeine, Nirvana, dll gara-gara masku. Pernah ngrekam kaset kosong pake mini compo dari siaran radio, pernah ngedengerin musik dari walkman hahaha. Biar tetep jadi anak kecil terus ae sih, makane bikin musik yang nuansanya seperti waktu masih kecil hehehe.

4. Tumbuh besar di skena musik di kota seperti Solo yang notabene second city, apa yang kalian rasakan dan bagaimana kalian memandang skena kota ini?

Radius: Jadi tantangan sih, kalau dilihat sebenarnya Solo pun punya banyak scene musik dan talenta yang bagus yang patut dilirik secara nasional. Ya, menurut saya tinggal pelaku musiknya aja, gimana cara packaging-nya, ber-media-nya, attitude-nya dan yang pasti bisa bertanggung jawab atas karyanya itu sendiri.

Alta: Rasanya seneng sih, Solo sekarang sudah kondusif. Bebas mau jadi apapun, semua bersahabat bisa haha-hihi di gig yang makin beragam, orang-orangnya juga makin beragam, jadi makin seru. Solo sudah mulai oke, bedanya sama kota besar ya paling responsnya aja sih. Gak mau beda-bedain kota besar ama kecil, selama kota besar masih butuh orang dari kota kecil semua kota sama kok hahahaha.

5. Coba ceritakan tentang proses penggarapan album pertama ini.

April 2014, awalnya cuma niat & nekat, pas kere tapi ada ide. Pengen rekaman nih, kan udah 3 taun nge-band, lagu udah 8, semua drum awale direkam di studio tempat latihan, malpraktek. Terus, ada rumah yang lumayan gede & bisa dipakai di daerah Ngargoyoso, Karanganyar, lereng gunung, adem, jauh peradaban, buat ngerekam seluruh part instrumen yang tersisa, kalo lagi penat tinggal main ke Telaga Madirda hehehe.

Soundcard beli sendiri, wara-wiri Solo-Jogja, karna sempet rusak setelah baru seminggu beli, nunggu garansi servis, sempet ke-pending beberapa pekan tapi akhire kelar dalam 3 bulan rekaman di rumah sendiri, direkam sendiri, operator gantian, bener-bener nginep. Oya, waktu itu pas Piala Dunia dan bulan Puasa, abis ngrekam nonton bola, sahur bareng, kalo Minggu main ke hutan dekat candi Sukuh. Seru sih…hahahah

Efek gitar masih ada yang minjem, terus ada Hendra dari Mooca Caboel yang bantuin ngisi background keyboard di beberapa lagu, kita ajakin main ke rumah Ngargoyoso, dia mau, take cuma sehari kelar. Oya, video dokumentasinya ada di youtube sama website patheticwaltz.com kok.

6. Silahkan bedah isi lagu per lagu.

Getta: Malam dan Creed berkaitan dengan refleksi diri. Keduanya bercerita tentang pertanyaan yang sering timbul tenggelam di kepala. Sepantasnya untuk kedua lagi ini pendengar bebas menafsirkan seperti apa.

Argaraya tentang kecintaan dan kekaguman akan alam gunung. Tempat melepas penat dari hiruk pikuk aktivitas kota urban.

Plastik Bekas dan Hitam mengangkat keprihatinan terkait lingkungan sekitar. Plastik bekas menyangkut gaya konsumtif plastik berlebihan yang hampir tak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari hari. Hitam menyangkut keprihatinan terhadap alih fungsi hutan konservasi menjadi hutan produksi hanya semata mata untuk nilai ekonomis yang dimanfaatkan oleh mafia-mafia tertentu. Realitanya itu terjadi semakin parah di Indonesia, dan jelas menganggu keseimbangan alam didalamnya.

Alta: Eh…Plastik Bekas. Nyeritain soal sampah plastik yang makin numpuk, bermuara di Samudra Pasifik, hampir jadi Pulau. Tapi PW bukan band go green, intinya mah kalo bisa dimulai dari rumah sendiri, dari diri sendiri soal memperlakukan sampah plastik dengan semestinya sih, dengan tidak membakar atau membuang sembarangan, udah cukup kok. Kok ga ada yang ngreklamasi pulau plastik di Pasifik ya?

Kalo She Like Pretty Owl, sudah dijabarkan di blog: http://vaksinasirasa.blogspot.com/2012/01/press-release-single-kedua-she-like.html nah kalo untuk Waiting Room sudah ditulis di blog: http://blog.patheticwaltz.com/press

7. Lirik merupakan salah satu komponen vital di dalam sebuah lagu, sementara -sorry to say- lirik berbahasa Inggris kalian amburadul. Padahal ini sudah tahun 2015. Teknologi sudah pesat dan populasi manusia yang bisa berbahasa Inggris di sekitar kalian kian banyak sehingga seharusnya lebih mudah dalam membuat lirik berbahasa Inggris. Apa tanggapan kalian?

Getta: Lirik Inggris amburadul. Sorry to say : Fuck off !!! Bagi kami secara normatif tata bahasa dalam sebuah lirik adalah kebebasan. Dan tidak sedikit pula band di luar yang melakukan itu.

Alta: Who the Fuck is Pathetic Waltz? Yah, namanya juga band brengsek pinggiran kota. Pas SMA, guru bahasa Inggris kita pernah nangis waktu ngajar kita tinggal pulang bolos sekelas, kok. 

8. Cover album kalian menarik. Bisa diceritakan?

Alta: Soal cover sih, itu ceritanya waktu SMA aku pernah pake gesper kaset pas kelas 1. Jaman SMA kan lagi ngetren banget tuh kan gesper gede-gede, karena pas SMA kere, ga kuat beli gesper Volcom dsb, ya aku buat gesper sendiri dari kaset, ditempelin pake lem Alteco ke ikat pinggang sisa MOS. Biar beda ama yang lain aja sih, kreatif maksa, hehehe. Terus disita BP, ilang deh, wujud pemberontakan anak SMA haha.

Ok, ada shout out untuk teman-teman/penggemar/siapa pun? Silahkan dikeluarkan

Apa yah? If you want to be happy, be.

Rilisan Kedua Dari Rambo Wadon Records: FISIP MERAUNG

Kerabat Wadon,

Masyarakat Solo memiliki darah humor yang mengalir cukup deras di darahnya. Guyon a la Mataraman menjadi sajian sehari-hari yang sudah familiar. Pecas Ndahe sempat -dan sebenarnya, masih- menjadi band humor nomor wahid di kota ini. Tapi tidak jauh dari mereka, bentuk regenerasi terbaik yang lebih muda, lebih segar dan lebih asu muncul dalam wujud Fisip Meraung.

IMG_6824

Dan yang membuat kami lebih gembira, Fisip Meraung sudah setuju teken kontrak untuk merilis album Greatest Hits Of.. di bawah label Rambo Wadon Records dalam format kaset. Sebuah kehormatan bagi kami untuk bisa merilis karya dari salah satu aset kota Solo selain rambak dan bumbu pecel.

Selamat datang di keluarga besar Rambo Wadon Records, Fisip Meraung!

IMG_6830

 

Rilisan Pertama Dari Rambo Wadon Records: PATHETIC WALTZ

Kerabat Wadon,

Setelah melewati proses negosiasi yang cukup alot, akhirnya kami berhasil meyakinkan Pathetic Waltz untuk bergabung menjadi bagian dari keluarga besar Rambo Wadon Records. Album pertama mereka bakal kami rilis dalam format kaset. We’re so excited.

IMG_6822

Pathetic Waltz menjadi band pertama yang membuat kami kepincut setelah sekian lama jazirah seni musik di Solo minim band-band asyik. Pria-pria asal Karanganyar ini membidani Pathetic Waltz dengan meminjam judul tembang Pure Saturday. Tautan antara keduanya memang tidak terlalu jauh. Bagi yang selama ini sudah sinkron dengan frekuensi Pure Saturday, tidak akan menemukan banyak kesulitan untuk menyelaraskan diri dengan gelombang musik Pathetic Waltz.

Tidak percaya? Silahkan cermati salah satu tembang mereka yang berjudul “Malam” ini:

Selamat datang di keluarga besar Rambo Wadon Records, Pathetic Waltz!

Prakata

RW Recs Logo

Kerabat Wadon,

Rambo Wadon Records terbentuk di awal tahun 2015, bermula dari sebuah obrolan ringan antara Al Djarzilla dan Uncle Bowl yang mendadak serius. Sebagai awalan, Rambo Wadon Records akan fokus di rilisan berformat kaset dari band-band asal Solo favorit kami. Apakah ini suatu bentuk eksklusifitas? Pertanda peka pengulangan jaman? Puritan analog? Oh bukan. Semua karena keterbatasan finansial semata. Tentu bukan tidak mungkin suatu hari nanti kami akan merilis CD atau vinyl juga, dengan band-band luar Solo yang tentu saja masih menjadi favorit kami.

Tujuan kami merilis Rambo Wadon Records sederhana saja: world domination.

Selamat datang di keluarga besar Rambo Wadon Records!